Berbicara soal Bayern berarti berbicara tentang salah satu klub
terbesar di dunia. Cerita, sejarah panjang dan pertandingan tak
ternilai, serta prestasi objektif membentang panjang. Mulai dari era
70-an, 80-an, sampai 2000-an. Mulai dari masa Udo Lattek, Dettmar
Cramer, Giovanni Trapattoni, Ottmar Hitzfeld, Louis van Gaal, Jupp
Heynckess, sampai Josep Guardiola.
Formasi FC Bayern 1998/1999. Pemain yang tersebut dalam tiap posisi, bukan “harga mati”. Saya hanya berusaha menggambarkan opsi tugas pemain Bayern, di musim tersebut.
4-4-2 atau 4-2-2-2 atau 4-2-3-1 (anda punya hak menyebutnya apa pun sesuai sudut pandang anda), sebagai salah satu line-up utama van Gaal di musim 2009/2010
Mia san mia, Ryan Tank
Untuk update terbaru, mohon follow melalui Blog atau Twitter @ryantank100
Tahun 2013, merupakan tahun terakhir kali
Bayern berhasil juara Liga Champions (18 bulan yang lalu). Keberhasilan
Bayern menjalani 3 final dalam 4 tahun (2010, 2012, dan 2013),
merupakan sesuatu yang sangat istimewa. Sebuah hal istimewa, yang hanya
bisa dilakukan oleh sebuah klub dengan pondasi yang sangat kuat. Kita
coba kembali (sedikit) ke belakang, ke era di mana Bayern mulai
“membangun” hingga sampai seperti saat ini.
Artikel ini mencoba memberikan gambaran
bagaimana Bayern bertransformasi dari masa ke masa. Karena saya baru
mulai menjadi salah satu fan Bayern sejak era Hitzfeld, saya rasa akan
jauh lebih justified bila saya mulai dari era tersebut, era di mana
Mario Basler hadir dan buat saya kepincut.
Era Ottmar Hitzfeld
Tahun 1998, Ottmar Hitzfeld didatangkan dari Dortmund. Ini menjadi salah satu transfer terbaik yang pernah dilakukan oleh Bayern. Hitzfeld sendiri mendatangkan 6 pemain baru. 5 di antaranya menarik perhatian publik Jerman, yaitu, Ali Daei, Stefan Effenberg, Jens Jeremies, Thomas Linke, dan Hasan Salihamidzic. 4 nama terakhir, pada akhirnya, membawa pengaruh sangat besar pada kesuksesasn Bayern nantinya.
Era Ottmar Hitzfeld
Tahun 1998, Ottmar Hitzfeld didatangkan dari Dortmund. Ini menjadi salah satu transfer terbaik yang pernah dilakukan oleh Bayern. Hitzfeld sendiri mendatangkan 6 pemain baru. 5 di antaranya menarik perhatian publik Jerman, yaitu, Ali Daei, Stefan Effenberg, Jens Jeremies, Thomas Linke, dan Hasan Salihamidzic. 4 nama terakhir, pada akhirnya, membawa pengaruh sangat besar pada kesuksesasn Bayern nantinya.
Di musim 1998/1999, Hitzfeld bermain
dengan bentuk dasar 3-4-3. Atau, anda juga bisa menyebutnya 1-2-4-3 atau
1-4-2-3. Intinya, 1 Sweeper, 2 bek Tengah, 2 Bek Sayap, 2 Gelandang
Tengah, 2 Penyerang Sayap, dan 1 Penyerang tengah.
Formasi FC Bayern 1998/1999. Pemain yang tersebut dalam tiap posisi, bukan “harga mati”. Saya hanya berusaha menggambarkan opsi tugas pemain Bayern, di musim tersebut.
Hitzfeld terkenal sebagai manajer yang
sangat mampu membangun pertahanan yang kokoh. Hitzfeld juga sangat
percaya pada “low defensive line” sebagai strategi bertahannya. Kita
coba deskripsikan secara singkat bagaimana peran para pemain Bayern era
Hitzfeld.
- Lothar Matthaeus merupakan Libero yang
tidak bertugas sebagai marker, ia lebih difungsikan sebagai organisator
yang punya “kebebasan” untuk roam ke depan. Sangat sering terlihat,
Matthaeus terlibat dalam transisi menyerang dan ikut naik ke atas.
Libero (Attacking) cukup mewakili role Matthaeus di Bayern.
- Di tengah, duet Stefan Effenberg dan
Jens Jeremies merupakan tipe pemain dengan kekuatan menyerang dan
bertahan yang baik. Effenberg bisa digambarkan sebagai kreator serangan
sebenarnya. Punya teknik, tenaga, keberanian, emosi, dan kharisma.
Jeremies merupakan salah satu gelandang tengah Jerman yang memiliki
stamina dan kecepatan. Effenberg dibandingkan Jeremies (Ball Winning
Midfielder-Defending), difungsikan lebih advanced (Advanced
Playmaker-Support).
- Dua sayap belakang, punya karakter
gerak berbeda. Sisi kiri merupakan sisi yang lebih agresif dalam
menyerang. Wajar saja, di sana ada salah satu bek kiri terbaik dunia
sepanjang masa, Bixente Lizarazu (Defensive Winger). Michael Tarnat
menjadi back-up nya. Di kanan, Babbel (Wing Back-Support) yang punya
kapasitas sebagai bek tengah, sudah jelas menawarkan kekuatan bertahan
yang bagus.
- Di depan, Hitzfeld meletakan 3 pemain.
Memainkan Carsten Jancker atau Giovane Elber, Hitzfeld memainkan taktik
berbeda. Sederhananya, Elber bisa disebut sebagai Advanced Forward yag
eksplosif, sementara Carsten Jancker merupakan Target Man dengan
kekuatan fisik yang mengerikan. Di ke-dua striker sayap, Bayern punya
dua pemain dengan karakter berbeda. Di satau sisi, Alexander Zickler
merupakan tipe “pemain tim” yang profesional dan selalu “bersedia”, baik
sebagai starting line-up atau pun cadangan. Kecepatannya sangat cocok
untuk skema serangan balik cepat. Di sisi lain, ada Mario Basler. Si
bengal yang sering telat datang latihan, perokok berat, suka minum,
tapi, punya individual skill yang masuk dalam golongan paling aduhai
sepanjang sejarah Jerman. Satu dari sedikit gelandang serang yang punya
kemampuan bersaing dalam jajaran top scorer Bundesliga.
Pada akhir musim 1998/1999 (musim pertama
Hitzfeld), Bayern mengakhiri musim dengan kegetiran yang “tidak
terlukiskan”. Effenberg menggambarkan kegetiran dengan mengatakan
“takdir permainkan kami dengan cara yang mengerikan”. Kalah oleh MU 1-2,
di 2 menit terakhir, di Final UCL, setelah sepanjang pertandingan
bermain lebih baik dengan sempat unggul 1-0.
Beberapa hari kemudian Bayern tampil di
Final Piala Jerman. Di partai ini, Bayern kembali kalah adu penalti,
oleh Bremen, dengan skor 4-5. Sekaligus, mengakhiri musim dengan “hanya”
meraih gelar Bundesliga 1999. Dari kemungkinan Treble, Bayern “hanya”
meraih 1 gelar.
Musim 2000/2001, tibalah apa yang telah
dinantikan Bayern, selama lebih dari 2 dekade. Trofi juara Liga
Champions diraih. Di musim ini, Hitzfeld masih bermain dengan bentuk
yang sama. Bedanya, ada pada SDM pemain. Lothar Matthaeus sudah tidak di
Bayern. Posisinya digantikan oleh Patrik Andersson. Konsekuensinya,
cara Bayern bermain di belakang, berubah, karena, ke-duanya beda
karakter. Di kanan, Willy Sagnol menjadi pilihan utama. Di depan, Hasan
Salihamidzic dan Mehmet Scholl mendapatkan waktu bermain lebih, pada
posisi striker sayap.
Di Final, Bayern memainkan anak muda
berusia 19 tahun bernama Owen Hargreaves menggantikan tempat Jens
Jeremies yang cedera panjang. Kualitas penampilannya? Anda tahu sendiri
bagaimana kualitas Hargreaves kalau cedera tidak menghancurkan karirnya.
Saya yakin, ia akan jadi salah satu deep-creator terbaik dari tanah
Inggris.
Waktu terus berjalan. Felix Magath (si
diktator) dan Jurgen Klinsmann sempat menangani FC Bayern. Magath sempat
menangani Bayern 2 musim. Dengan 2 gelar Bundesliga.
Di era Klinsmann, beberapa kebijakan
menjadi pertanyaan besar, hingga saat ini. Mulai dari dilegonya Mats
Hummels, lalu, rumor bahwa Klinsi juga pernah berniat melego Thomas
Muller, sampai kekuatan pertahanan yang menjadi titik lemah Bayern
selama Klinsi menjabat sebagai juru taktik. Hanya 1 musim, Klinsi cabut
dari Bayern.
Era Louis van Gaal
Di musim panas 2009, Louis van Gaal ditunjuk menjadi juru taktik. Di era van Gaal, Bayern mendapatkan beberapa kemajuan berarti. Van Gaal yang memiliki background kuat di Ajax, sebagai klub penghasil pemain muda terbaik, membawa DNA ini ke Bayern. Ia promosikan Holger Badstuber dan Thomas Muller. Dari sisi taktik, kebijakan van Gaal memboyong Arjen Robben menjadi salah satu kunci utama sukses Bayern 2009/2010.
Di musim panas 2009, Louis van Gaal ditunjuk menjadi juru taktik. Di era van Gaal, Bayern mendapatkan beberapa kemajuan berarti. Van Gaal yang memiliki background kuat di Ajax, sebagai klub penghasil pemain muda terbaik, membawa DNA ini ke Bayern. Ia promosikan Holger Badstuber dan Thomas Muller. Dari sisi taktik, kebijakan van Gaal memboyong Arjen Robben menjadi salah satu kunci utama sukses Bayern 2009/2010.
Banyak eksperimen lain dilakukan van
Gaal. Salah satunya, Bastian Schweinsteiger menemukan “tempatnya” di
sisi tengah gelandang. Beberapa cerita cedera juga menghantui Bayern
selama musim tersebut. Menjelang akhir musim, barulah van Gaal menemukan
kombinasi taktik yang dirasa paling ideal. Line-up Bayern di periode
1/3 akhir musim 2010, menjadi cermin taktik van Gaal.
4-4-2 atau 4-2-2-2 atau 4-2-3-1 (anda punya hak menyebutnya apa pun sesuai sudut pandang anda), sebagai salah satu line-up utama van Gaal di musim 2009/2010
Bila Hitzfeld terkenal dengan kekuatan
lini pertahanannya, maka, van Gaal, adalah kebalikannya. Eksplosivitas
Arjen Robben (Inside Forward), Frank Ribery (Inside Forward), Thomas
Muller (DLF-Support), dan Ivica Olic (Advanced Forward) dimanfaatkan
dengan maksimal. Van Gaal menyatakan, bahwa, pertahanan tim tidak lebih
penting dari penyerangan. Dan, teori serta prinsip van Gaal ini bertemu
batunya, kala di Final UCL 2010, Jose Mourinho dengan pertahanannya,
menghajar Bayern dengan skor 2-0. Van Gaal gagal membawa trofi UCL ke
Bayern, tapi, apa yang ia lakukan pada Muller, Badstuber, dan
Schweinsteiger, pada akhirnya memberikan dampak positif jangka panjang
bagi Bayern dan Jerman.
Di musim 2009/2010, sisi kanan menjadi
salah satu senjata paling mematikan. Kombinasi Robben dan Lahm, membawa
sisi kanan Bayern berkontribusi sebanyak 43 gol (gol dan assist) di
semua ajang. Perubahan Schweinsteiger dari sayap menjadi salah satu dari
duo pivot (Box to Box Midfielder), juga merupakan putusan brilian.
Workrate, passing, creativity, dan dicipline, menjadi kunci Schweini
mampu bermain di posisi ini.
Singkatnya, bila banyak yang katakan
4-4-2 sudah “mati”, van Gaal membuktikan, 4-4-2 belum mati, melalui
berbagai penyesuaian yang ia lakukan ke dalamnya. Brilliant. Simply
brilliant.
Era Jupp Heynckes
Setelah era van Gaal, Jupp Heynckes datang kembali. Pemain andalan Heynckes, Toni Kroos (Trequartista/Advanced Playmaker), menjadi salah satu elemen terpenting Bayern. Kemampuannya mengorganisir serangan dan timing-nya untuk muncul dari lini ke-dua, menjadi 2 dari banyak senjata utama Kroos. Mario Gomez (Poacher), sang striker tunggal, juga makin menemukan era-nya. Heynckes sendiri, mengusung formasi 4-2-3-1.
Setelah era van Gaal, Jupp Heynckes datang kembali. Pemain andalan Heynckes, Toni Kroos (Trequartista/Advanced Playmaker), menjadi salah satu elemen terpenting Bayern. Kemampuannya mengorganisir serangan dan timing-nya untuk muncul dari lini ke-dua, menjadi 2 dari banyak senjata utama Kroos. Mario Gomez (Poacher), sang striker tunggal, juga makin menemukan era-nya. Heynckes sendiri, mengusung formasi 4-2-3-1.
Di akhir musim 2011/2012, Heynckess
mengalami kegetiran yang sama dengan apa yang dialami Hitzfeld 13 tahun
silam. Bahkan lebih pahit. Gagal menjuarai Bundesliga, diikuti kegagalan
Bayern di Final Pokal, dihajar Dortmund 2-5.
Di Final UCL, Bayern pun gagal. Bayern
kalah dari Chelsea melalui adu penalti, di hadapan pendukungnya sendiri,
di Allianz Arena. Beyern Treble runner-up. Di Final tersebut, keputusan
Heynckes menggantikan Muller, dengan Buyten, tepat setelah Muller
membuat gol, untuk kebutuhan taktik bertahan, menjadi pertanyaan dan
kritik keras. Juga, banyaknya peluang yang dibuang Mario Gomez dalam
pertandingan tersebut, pada akhirnya menjadikan Gomez sebagai salah satu
kambing hitam. Dan, yang paling parah, kegagalan Arjen Robben
mengeksekusi penalti, di masa OT, dan kengototannya untuk lakukan
tembakan langsung, tanpa memberikan umpan, dalam beberapa kesempatan,
membuat Robben di-boooooo pendukung Bayern. Hebatnya, hal ini terjadi
sampai beberapa bulan pasca Final.
Fakta-fakta ini menghadirkan opini
ironis, bahwa untuk meraih sebuah sukses, Bayern membutuhkan kegetiran
terlebih dahulu. Di musim 2001, Bayern menjadi juara UCL 2001, dengan
kenangan pahit 1999 mengikuti tim saat saat itu. Begitu pula dengan
kegagalan pahit 2012 (plus kekalahan di Final tahun 2010), membayangi
langkah Bayern menapaki Final UCL 2013. Segalanya makin berat, mengingat
lawan yang dihadapi adalah Borussia Dortmund, tim yang sering menjadi
penghancur Bayern dalam 2 tahun terakhir.
Di musim 2012/2013 tersebut, Heycnkes
membawa Bayern ke level yang jauh lebih tinggi. Sebuah level di mana
sebagian publik Eropa sampai beretorika, bahwa, apakah Bayern merupakan
tim terbaik saat itu.
Heynckes membawa direct-play, tempo
cepat, high up pressing (mengacu pada Counter pressing ala Dortmund),
duo pivot yang sangat bertenaga sekaligus berteknik, dan dua sayap yang
sangat cepat dan ikut berperan dalam pertahanan. Belum lagi, bagaimana
Heynckes sukses memberikan peran defensive forward kepada Mario
Mandzukic, dengan sempurna. Ada kecepatan, ada pressing, ada power, dan
ada permainan keras. Unsur Jerman yang sangat kentara.
Fleksibilitas taktik dan role juga
terlihat pada Bayern era Heynckes. Apa yang Heynckes tampilkan kala
mengalahkan Juventus 2-0 dan 2-0 dalam dua leg, menjadi cermin nyata.
Perhatikan bagaimana Toni kroos bermain. Dan lihat baik-baik, bagaimana
perilaku Mario Mandzukic dalam mem-pressing pertahanan Juve sepanjang
waktu. Di sinilah ke-modern-an sepakbola terlihat nyata.
Dalam salah 1 artikel saya DI SINI,
anda bisa melihat, pentingnya peran deep lying midfielder, sebagai
deep-creator. Heynckes menyadari hal ini. Dalam pandangan Heynckes,
Pirlo merupakan deep creator yang harus dimatikan. Oleh Heynckes, Toni
Kroos-lah pemain yang ditugaskan mengawasi, menjaga, dan mematikan
Pirlo. Ketika kemudian Kroos cedera, Muller yang menggantikan peranan
Kroos. Dan ke-duanya, Kroos maupun Muller, bermain di satu posisi yang
sama, gelandang serang tengah (AM Center). Mari kita sebut role ini, Advanced Defensive Midfielder yang analisanya bisa anda dapatkan di SINI.
Sama halnya yang dilakukan Mandzukic.
Selama musim pertamanya di Bayern, Mandzukic memperlihatkan bahwa ia
merupakan salah satu striker modern (yang tidak hanya hebat dalam urusan
mencetak gol) terbaik di era sepakbola modern, yang menuntut
universalitas peran (di FM kita mengenalnya dengan Fluidity). Sepanjang
pertandingan, tidak lelahnya Mandzukic bergerak flank to flank dan
seluruh area pertahanan Juve, untuk memberikan pressing penuh, yang
mempersulit buil-up play Juve di belakang. Di dalam Football Manager,
kita mengenalnya dengan Defensive Forward role. Di dunia nyata, saya
lebih nyaman menyebutnya, Advanced Defensive Midfielder.
Era Josep Guardiola
Revolusi lain kembali terjadi. Bagi Matthias Sammer dan Karl Heinz Rummeniege, Josep Guardiola merupakan orang yang tepat untuk menjamin target jangka panjang Bayern. Rummeniege menyebutnya sebagai jenius bola yang tergila-gila pada sepakbola.
Revolusi lain kembali terjadi. Bagi Matthias Sammer dan Karl Heinz Rummeniege, Josep Guardiola merupakan orang yang tepat untuk menjamin target jangka panjang Bayern. Rummeniege menyebutnya sebagai jenius bola yang tergila-gila pada sepakbola.
Pep mengusung gaya khas-nya ke Bayern.
Tiki-taka, dengan penekanan pada penguasaan bola yang ekstrem. Di musim
pertama, Pep banyak memainkan pola dasar 4-1-4-1 dengan fleksibilitas
formasi menjadi 4-4-1-1 saat pressing atau 2-1-4-3 saat menyerang.
Terjadi perbedaan yang sangat besar dalam
permainan Bayern di bawah era Guardiola, 2013/2014. Dari sebuah tim
yang direct passing, mejadi tim yang ekstrem possession-based. Pola
dasar 4-1-4-1 dan segala fleksibilitasnya, menjadi identitas taktikal
Bayern di musim tersebut.
Di semi final UCL 2014, sebuah kekalahan
mengerikan dialami Bayern dari Real Madrid. Bayern diagregat Madrid,
dengan skor, 0-5. Ancelotti menemukan penangkal tepat dalam menghentikan
permainan Guardiola. Selain bermain deep dan “menunggu”, Ancelotti
memanfaatkan kelemahan Bayern dalam duel bola-bola udara. Sebuah ironi,
mengingat musim sebelumnya, Bayern termasuk sangat kuat di udara. Kritik
mengalir deras. Banyak fans mencibir Guardiola dan tiki takanya.
Di musim 2014/2015 (musim ini), Guardiola
menunjukan banyak fleksibilitas taktik, baik makro maupun mikro. Partai
menghadapi CSKA Moscow menjadi salah satu saksinya. Memulai
pertandingan dengan bentuk 4-2-3-1. Di tengah-tengah pertandingan,
Bayern merubah gaya main ke bentuk dasar 3 bek sejajar. Yang unik lagi,
Guardiola memberikan 2 role-duty super-hybrid pada Philip Lahm dan
(terutama) David Alaba. Salah satu role-duty yang saya maksud, adalah, Box to Box Central Defender (B2BCD). Apa itu B2BCD? Analisa detailnya, bisa dilihat dalam analisa CSKA vs Bayern.
Untuk musim ini, beberapa bentuk dasar
digunakan Guardiola. Salah satu yang paling sering digunakan, adalah,
bentuk 4 bek, 3 gelandang tengah, 2 penyerang sayap, dan 1 penyerang
tengah. Dua hasil terakhir (saat tulisan dibuat), membelalakan mata
pecinta sepakbola Jerman. Kala Bayern mengalahkan Bremen 6-0, tidak
sekalipun Bremen mampu lakukan shot on target. Dan yang terbaru, Roma
dihancurkan dengan skor 1-7 di Olimpico.
Pada era guardiola, pembelian Gotze dan
Lewandowski menjadi 2 hal utama yang banyak diperbincangkan. Dan bukan
kebetulan pula, bahwa Gotze merupakan salah satu talenta terbaik Jerman
saat ini, yang terkenal dengan teknik, visi, dan key passing-nya.
Melalui pembelian Gotze, bisa jadi salah satu patokan bagi anda untuk
menilai, ke mana arah Bayern akan dilayarkan Josep Guardiola ke
depannya.
Hitzfeld “memulai pembangunan” dengan
mengakhiri puasa gelar CL Bayern. Van Gaal datang dengan filosofi
sepakbola yang fluid dan attacking-minded. Heynckess, dengan direct play
dan van Gaal-ish di dalamnya, berhasil membawa gelar CL ke Allianz
Arena. Saat ini, di era terbaru, Guardiola menjadi komando tertinggi di
medan pertandingan. Sebuah era di mana Jerman tidak hanya akan
mengandalkan power, kedisiplinan, dan kecepatan, tetapi, juga teknik,
keindahan, dan winning with style.
Untuk update terbaru, mohon follow melalui Blog atau Twitter @ryantank100
0 comments