Berbicara soal Bayern berarti berbicara tentang salah satu klub terbesar di dunia. Cerita, sejarah panjang dan pertandingan tak ternilai, serta prestasi objektif membentang panjang. Mulai dari era 70-an, 80-an, sampai 2000-an. Mulai dari masa Udo Lattek, Dettmar Cramer, Giovanni Trapattoni, Ottmar Hitzfeld, Louis van Gaal, Jupp Heynckess, sampai Josep Guardiola.

Tahun 2013, merupakan tahun terakhir kali Bayern berhasil juara Liga Champions (18 bulan yang lalu). Keberhasilan Bayern menjalani 3 final dalam 4 tahun (2010, 2012, dan 2013), merupakan sesuatu yang sangat istimewa. Sebuah hal istimewa, yang hanya bisa dilakukan oleh sebuah klub dengan pondasi yang sangat kuat. Kita coba kembali (sedikit) ke belakang, ke era di mana Bayern mulai “membangun” hingga sampai seperti saat ini.

Artikel ini mencoba memberikan gambaran bagaimana Bayern bertransformasi dari masa ke masa. Karena saya baru mulai menjadi salah satu fan Bayern sejak era Hitzfeld, saya rasa akan jauh lebih justified bila saya mulai dari era tersebut, era di mana Mario Basler hadir dan buat saya kepincut.

Era Ottmar Hitzfeld

Tahun 1998, Ottmar Hitzfeld didatangkan dari Dortmund. Ini menjadi salah satu transfer terbaik yang pernah dilakukan oleh Bayern. Hitzfeld sendiri mendatangkan 6 pemain baru. 5 di antaranya menarik perhatian publik Jerman, yaitu, Ali Daei, Stefan Effenberg, Jens Jeremies, Thomas Linke, dan Hasan Salihamidzic. 4 nama terakhir, pada akhirnya, membawa pengaruh sangat besar pada kesuksesasn Bayern nantinya.

Di musim 1998/1999, Hitzfeld bermain dengan bentuk dasar 3-4-3. Atau, anda juga bisa menyebutnya 1-2-4-3 atau 1-4-2-3. Intinya, 1 Sweeper, 2 bek Tengah, 2 Bek Sayap, 2 Gelandang Tengah, 2 Penyerang Sayap, dan 1 Penyerang tengah.

ryan-tank-bayern-1999
Formasi FC Bayern 1998/1999. Pemain yang tersebut dalam tiap posisi, bukan “harga mati”. Saya hanya berusaha menggambarkan opsi tugas pemain Bayern, di musim tersebut.

Hitzfeld terkenal sebagai manajer yang sangat mampu membangun pertahanan yang kokoh. Hitzfeld juga sangat percaya pada “low defensive line” sebagai strategi bertahannya. Kita coba deskripsikan secara singkat bagaimana peran para pemain Bayern era Hitzfeld.

- Lothar Matthaeus merupakan Libero yang tidak bertugas sebagai marker, ia lebih difungsikan sebagai organisator yang punya “kebebasan” untuk roam ke depan. Sangat sering terlihat, Matthaeus terlibat dalam transisi menyerang dan ikut naik ke atas. Libero (Attacking) cukup mewakili role Matthaeus di Bayern.

- Di tengah, duet Stefan Effenberg dan Jens Jeremies merupakan tipe pemain dengan kekuatan menyerang dan bertahan yang baik. Effenberg bisa digambarkan sebagai kreator serangan sebenarnya. Punya teknik, tenaga, keberanian, emosi, dan kharisma. Jeremies merupakan salah satu gelandang tengah Jerman yang memiliki stamina dan kecepatan. Effenberg dibandingkan Jeremies (Ball Winning Midfielder-Defending), difungsikan lebih advanced (Advanced Playmaker-Support).
- Dua sayap belakang, punya karakter gerak berbeda. Sisi kiri merupakan sisi yang lebih agresif dalam menyerang. Wajar saja, di sana ada salah satu bek kiri terbaik dunia sepanjang masa, Bixente Lizarazu (Defensive Winger). Michael Tarnat menjadi back-up nya. Di kanan, Babbel (Wing Back-Support) yang punya kapasitas sebagai bek tengah, sudah jelas menawarkan kekuatan bertahan yang bagus.

- Di depan, Hitzfeld meletakan 3 pemain. Memainkan Carsten Jancker atau Giovane Elber, Hitzfeld memainkan taktik berbeda. Sederhananya, Elber bisa disebut sebagai Advanced Forward yag eksplosif, sementara Carsten Jancker merupakan Target Man dengan kekuatan fisik yang mengerikan. Di ke-dua striker sayap, Bayern punya dua pemain dengan karakter berbeda. Di satau sisi, Alexander Zickler merupakan tipe “pemain tim” yang profesional dan selalu “bersedia”, baik sebagai starting line-up atau pun cadangan. Kecepatannya sangat cocok untuk skema serangan balik cepat. Di sisi lain, ada Mario Basler. Si bengal yang sering telat datang latihan, perokok berat, suka minum, tapi, punya individual skill yang masuk dalam golongan paling aduhai sepanjang sejarah Jerman. Satu dari sedikit gelandang serang yang punya kemampuan bersaing dalam jajaran top scorer Bundesliga.

Pada akhir musim 1998/1999 (musim pertama Hitzfeld), Bayern mengakhiri musim dengan kegetiran yang “tidak terlukiskan”. Effenberg menggambarkan kegetiran dengan mengatakan “takdir permainkan kami dengan cara yang mengerikan”. Kalah oleh MU 1-2, di 2 menit terakhir, di Final UCL, setelah sepanjang pertandingan bermain lebih baik dengan sempat unggul 1-0.

Beberapa hari kemudian Bayern tampil di Final Piala Jerman. Di partai ini, Bayern kembali kalah adu penalti, oleh Bremen, dengan skor 4-5. Sekaligus, mengakhiri musim dengan “hanya” meraih gelar Bundesliga 1999. Dari kemungkinan Treble, Bayern “hanya” meraih 1 gelar.

Musim 2000/2001, tibalah apa yang telah dinantikan Bayern, selama lebih dari 2 dekade. Trofi juara Liga Champions diraih. Di musim ini, Hitzfeld masih bermain dengan bentuk yang sama. Bedanya, ada pada SDM pemain. Lothar Matthaeus sudah tidak di Bayern. Posisinya digantikan oleh Patrik Andersson. Konsekuensinya, cara Bayern bermain di belakang, berubah, karena, ke-duanya beda karakter. Di kanan, Willy Sagnol menjadi pilihan utama. Di depan, Hasan Salihamidzic dan Mehmet Scholl mendapatkan waktu bermain lebih, pada posisi striker sayap.

ryan-tank-bayern-2001-UCL-Final
Salah satu starting line-up Bayern 2000/2001
Di Final, Bayern memainkan anak muda berusia 19 tahun bernama Owen Hargreaves menggantikan tempat Jens Jeremies yang cedera panjang. Kualitas penampilannya? Anda tahu sendiri bagaimana kualitas Hargreaves kalau cedera tidak menghancurkan karirnya. Saya yakin, ia akan jadi salah satu deep-creator terbaik dari tanah Inggris.

Waktu terus berjalan. Felix Magath (si diktator) dan Jurgen Klinsmann sempat menangani FC Bayern. Magath sempat menangani Bayern 2 musim. Dengan 2 gelar Bundesliga.

Di era Klinsmann, beberapa kebijakan menjadi pertanyaan besar, hingga saat ini. Mulai dari dilegonya Mats Hummels, lalu, rumor bahwa Klinsi juga pernah berniat melego Thomas Muller, sampai kekuatan pertahanan yang menjadi titik lemah Bayern selama Klinsi menjabat sebagai juru taktik. Hanya 1 musim, Klinsi cabut dari Bayern.

Era Louis van Gaal
Di musim panas 2009, Louis van Gaal ditunjuk menjadi juru taktik. Di era van Gaal, Bayern mendapatkan beberapa kemajuan berarti. Van Gaal yang memiliki background kuat di Ajax, sebagai klub penghasil pemain muda terbaik, membawa DNA ini ke Bayern. Ia promosikan Holger Badstuber dan Thomas Muller. Dari sisi taktik, kebijakan van Gaal memboyong Arjen Robben menjadi salah satu kunci utama sukses Bayern 2009/2010.

Banyak eksperimen lain dilakukan van Gaal. Salah satunya, Bastian Schweinsteiger menemukan “tempatnya” di sisi tengah gelandang. Beberapa cerita cedera juga menghantui Bayern selama musim tersebut. Menjelang akhir musim, barulah van Gaal menemukan kombinasi taktik yang dirasa paling ideal. Line-up Bayern di periode 1/3 akhir musim 2010, menjadi cermin taktik van Gaal.

ryan-tank-bayern-2010
4-4-2 atau 4-2-2-2 atau 4-2-3-1 (anda punya hak menyebutnya apa pun sesuai sudut pandang anda), sebagai salah satu line-up utama van Gaal di musim 2009/2010

Bila Hitzfeld terkenal dengan kekuatan lini pertahanannya, maka, van Gaal, adalah kebalikannya. Eksplosivitas Arjen Robben (Inside Forward), Frank Ribery (Inside Forward), Thomas Muller (DLF-Support), dan Ivica Olic (Advanced Forward) dimanfaatkan dengan maksimal. Van Gaal menyatakan, bahwa, pertahanan tim tidak lebih penting dari penyerangan. Dan, teori serta prinsip van Gaal ini bertemu batunya, kala di Final UCL 2010, Jose Mourinho dengan pertahanannya, menghajar Bayern dengan skor 2-0. Van Gaal gagal membawa trofi UCL ke Bayern, tapi, apa yang ia lakukan pada Muller, Badstuber, dan Schweinsteiger, pada akhirnya memberikan dampak positif jangka panjang bagi Bayern dan Jerman.

Di musim 2009/2010, sisi kanan menjadi salah satu senjata paling mematikan. Kombinasi Robben dan Lahm, membawa sisi kanan Bayern berkontribusi sebanyak 43 gol (gol dan assist) di semua ajang. Perubahan Schweinsteiger dari sayap menjadi salah satu dari duo pivot (Box to Box Midfielder), juga merupakan putusan brilian. Workrate, passing, creativity, dan dicipline, menjadi kunci Schweini mampu bermain di posisi ini.

Singkatnya, bila banyak yang katakan 4-4-2 sudah “mati”, van Gaal membuktikan, 4-4-2 belum mati, melalui berbagai penyesuaian yang ia lakukan ke dalamnya. Brilliant. Simply brilliant.

Era Jupp Heynckes
Setelah era van Gaal, Jupp Heynckes datang kembali. Pemain andalan Heynckes, Toni Kroos (Trequartista/Advanced Playmaker), menjadi salah satu elemen terpenting Bayern. Kemampuannya mengorganisir serangan dan timing-nya untuk muncul dari lini ke-dua, menjadi 2 dari banyak senjata utama Kroos. Mario Gomez (Poacher), sang striker tunggal, juga makin menemukan era-nya. Heynckes sendiri, mengusung formasi 4-2-3-1.

ryan-tank-bayern-2012
Salah satu formasi Bayern di musim 2011/2012

Di akhir musim 2011/2012, Heynckess mengalami kegetiran yang sama dengan apa yang dialami Hitzfeld 13 tahun silam. Bahkan lebih pahit. Gagal menjuarai Bundesliga, diikuti kegagalan Bayern di Final Pokal, dihajar Dortmund 2-5.

Di Final UCL, Bayern pun gagal. Bayern kalah dari Chelsea melalui adu penalti, di hadapan pendukungnya sendiri, di Allianz Arena. Beyern Treble runner-up. Di Final tersebut, keputusan Heynckes menggantikan Muller, dengan Buyten, tepat setelah Muller membuat gol, untuk kebutuhan taktik bertahan, menjadi pertanyaan dan kritik keras. Juga, banyaknya peluang yang dibuang Mario Gomez dalam pertandingan tersebut, pada akhirnya menjadikan Gomez sebagai salah satu kambing hitam. Dan, yang paling parah, kegagalan Arjen Robben mengeksekusi penalti, di masa OT, dan kengototannya untuk lakukan tembakan langsung, tanpa memberikan umpan, dalam beberapa kesempatan, membuat Robben di-boooooo pendukung Bayern. Hebatnya, hal ini terjadi sampai beberapa bulan pasca Final.

Fakta-fakta ini menghadirkan opini ironis, bahwa untuk meraih sebuah sukses, Bayern membutuhkan kegetiran terlebih dahulu. Di musim 2001, Bayern menjadi juara UCL 2001, dengan kenangan pahit 1999 mengikuti tim saat saat itu. Begitu pula dengan kegagalan pahit 2012 (plus kekalahan di Final tahun 2010), membayangi langkah Bayern menapaki Final UCL 2013. Segalanya makin berat, mengingat lawan yang dihadapi adalah Borussia Dortmund, tim yang sering menjadi penghancur Bayern dalam 2 tahun terakhir.

ryan-tank-bayern-2013
Formasi awal Bayern di Final UCL 2012/2013
Di musim 2012/2013 tersebut, Heycnkes membawa Bayern ke level yang jauh lebih tinggi. Sebuah level di mana sebagian publik Eropa sampai beretorika, bahwa, apakah Bayern merupakan tim terbaik saat itu.

Heynckes membawa direct-play, tempo cepat, high up pressing (mengacu pada Counter pressing ala Dortmund), duo pivot yang sangat bertenaga sekaligus berteknik, dan dua sayap yang sangat cepat dan ikut berperan dalam pertahanan. Belum lagi, bagaimana Heynckes sukses memberikan peran defensive forward kepada Mario Mandzukic, dengan sempurna. Ada kecepatan, ada pressing, ada power, dan ada permainan keras. Unsur Jerman yang sangat kentara.

Fleksibilitas taktik dan role juga terlihat pada Bayern era Heynckes. Apa yang Heynckes tampilkan kala mengalahkan Juventus 2-0 dan 2-0 dalam dua leg, menjadi cermin nyata. Perhatikan bagaimana Toni kroos bermain. Dan lihat baik-baik, bagaimana perilaku Mario Mandzukic dalam mem-pressing pertahanan Juve sepanjang waktu. Di sinilah ke-modern-an sepakbola terlihat nyata.

Dalam salah 1 artikel saya DI SINI, anda bisa melihat, pentingnya peran deep lying midfielder, sebagai deep-creator. Heynckes menyadari hal ini. Dalam pandangan Heynckes, Pirlo merupakan deep creator yang harus dimatikan. Oleh Heynckes, Toni Kroos-lah pemain yang ditugaskan mengawasi, menjaga, dan mematikan Pirlo. Ketika kemudian Kroos cedera, Muller yang menggantikan peranan Kroos. Dan ke-duanya, Kroos maupun Muller, bermain di satu posisi yang sama, gelandang serang tengah (AM Center). Mari kita sebut role ini, Advanced Defensive Midfielder yang analisanya bisa anda dapatkan di SINI.

Sama halnya yang dilakukan Mandzukic. Selama musim pertamanya di Bayern, Mandzukic memperlihatkan bahwa ia merupakan salah satu striker modern (yang tidak hanya hebat dalam urusan mencetak gol) terbaik di era sepakbola modern, yang menuntut universalitas peran (di FM kita mengenalnya dengan Fluidity). Sepanjang pertandingan, tidak lelahnya Mandzukic bergerak flank to flank dan seluruh area pertahanan Juve, untuk memberikan pressing penuh, yang mempersulit buil-up play Juve di belakang. Di dalam Football Manager, kita mengenalnya dengan Defensive Forward role. Di dunia nyata, saya lebih nyaman menyebutnya, Advanced Defensive Midfielder.

Era Josep Guardiola
Revolusi lain kembali terjadi. Bagi Matthias Sammer dan Karl Heinz Rummeniege, Josep Guardiola merupakan orang yang tepat untuk menjamin target jangka panjang Bayern. Rummeniege menyebutnya sebagai jenius bola yang tergila-gila pada sepakbola.

Pep mengusung gaya khas-nya ke Bayern. Tiki-taka, dengan penekanan pada penguasaan bola yang ekstrem. Di musim pertama, Pep banyak memainkan pola dasar 4-1-4-1 dengan fleksibilitas formasi menjadi 4-4-1-1 saat pressing atau 2-1-4-3 saat menyerang.
ryan-tank-bayern-2013-2014
Salah satu tactical set-up Guardiola musim 2013/2014

Terjadi perbedaan yang sangat besar dalam permainan Bayern di bawah era Guardiola, 2013/2014. Dari sebuah tim yang direct passing, mejadi tim yang ekstrem possession-based. Pola dasar 4-1-4-1 dan segala fleksibilitasnya, menjadi identitas taktikal Bayern di musim tersebut.

Di semi final UCL 2014, sebuah kekalahan mengerikan dialami Bayern dari Real Madrid. Bayern diagregat Madrid, dengan skor, 0-5. Ancelotti menemukan penangkal tepat dalam menghentikan permainan Guardiola. Selain bermain deep dan “menunggu”, Ancelotti memanfaatkan kelemahan Bayern dalam duel bola-bola udara. Sebuah ironi, mengingat musim sebelumnya, Bayern termasuk sangat kuat di udara. Kritik mengalir deras. Banyak fans mencibir Guardiola dan tiki takanya.

Di musim 2014/2015 (musim ini), Guardiola menunjukan banyak fleksibilitas taktik, baik makro maupun mikro. Partai menghadapi CSKA Moscow menjadi salah satu saksinya. Memulai pertandingan dengan bentuk 4-2-3-1. Di tengah-tengah pertandingan, Bayern merubah gaya main ke bentuk dasar 3 bek sejajar. Yang unik lagi, Guardiola memberikan 2 role-duty super-hybrid pada Philip Lahm dan (terutama) David Alaba. Salah satu role-duty yang saya maksud, adalah, Box to Box Central Defender (B2BCD). Apa itu B2BCD? Analisa detailnya, bisa dilihat dalam analisa CSKA vs Bayern.
ryan-tank-bayern-2014-2015-1
Bentuk dasar 4-3-3 Bayern musim 2014/2015

Untuk musim ini, beberapa bentuk dasar digunakan Guardiola. Salah satu yang paling sering digunakan, adalah, bentuk 4 bek, 3 gelandang tengah, 2 penyerang sayap, dan 1 penyerang tengah. Dua hasil terakhir (saat tulisan dibuat), membelalakan mata pecinta sepakbola Jerman. Kala Bayern mengalahkan Bremen 6-0, tidak sekalipun Bremen mampu lakukan shot on target. Dan yang terbaru, Roma dihancurkan dengan skor 1-7 di Olimpico.

ryan-tank-bayern-2014-2015-2
Bentuk dasar 3-3-3-1 Bayern musim 2014/2015

Pada era guardiola, pembelian Gotze dan Lewandowski menjadi 2 hal utama yang banyak diperbincangkan. Dan bukan kebetulan pula, bahwa Gotze merupakan salah satu talenta terbaik Jerman saat ini, yang terkenal dengan teknik, visi, dan key passing-nya. Melalui pembelian Gotze, bisa jadi salah satu patokan bagi anda untuk menilai, ke mana arah Bayern akan dilayarkan Josep Guardiola ke depannya.

Hitzfeld “memulai pembangunan” dengan mengakhiri puasa gelar CL Bayern. Van Gaal datang dengan filosofi sepakbola yang fluid dan attacking-minded. Heynckess, dengan direct play dan van Gaal-ish di dalamnya, berhasil membawa gelar CL ke Allianz Arena. Saat ini, di era terbaru, Guardiola menjadi komando tertinggi di medan pertandingan. Sebuah era di mana Jerman tidak hanya akan mengandalkan power, kedisiplinan, dan kecepatan, tetapi, juga teknik, keindahan, dan winning with style.

Mia san mia, Ryan Tank
Untuk update terbaru, mohon follow melalui Blog atau Twitter @ryantank100