Beberapa waktu yang lampau, saya mengikuti test dan interview sebuah perusahaan bonafid di Indonesia, terutama di bidang yang saya geluti saat ini. Bagi saya yang semenjana, hanya dengan mendapat panggilan interview, sebuah kesempatan untuk bergabung perusahaan sebesar itu, sudah membuat perasaan saya senang. Kesenangan yang sampai detik ini, masih dapat saya ingat rasanya. Test dan interview tersebut akhirnya saya jalani juga. Dimana proses ini memakan waktu 2 hari di Sabtu dan Minggu. Sebelumnya, saya mengerenyitkan dahi saat membaca undangan test dilakukan di waktu yang lumrahnya digunakan orang untuk istirahat bersama keluarga. "Itu karena komitmen kami dalam  mencari yang terbaik, karena biasanya yang terbaik itu selalu sibuk hari Senin sampai Jumatnya" ujar penyelenggaranya. Sesuatu yang menurut saya logis dan cukup membuat saya sedikit membusungkan dada.

Well, semua test dan pertanyaan saya lalui dan saya rasa semuanya bisa dibilang berjalan sangat baik. Bahkan setelah interview dengan user, saya menjadi memiliki tingkat kepercayaan yang berada di atas rata-rata, kepercayaan diri bahwa semua akan berjalan sangat mulus. Setelah hari test tersebut, waktu 2 minggu adalah waktu yang diujar sebagai waktu proses sampai hasil interview diberitahukan kepada peserta. Dimana 2 minggu waktu itu saya penuhi dengan harapan dan kepercayaan tinggi, saking tingginya sampai-sampai saya sudah mulai mereka-reka apa yang harus saya siapkan sesaat meneken kontrak "transfer" saya. Tetapi, perasaan dan harapan saya setelah 2 minggu berubah seperti layaknya degradasi di grafik regresi parabola. Tidak ada panggilan, tidak ada email pemberitahuan, tidak ada.

Jika saya dan anda memiliki pengalaman yang mirip atau sama. Dan jika saya penganut mainstream sejati. Mungkin kita bisa sama sama sepakat untuk meme dengan jargon “sakitnya itu disini…..” sudah cukup mewakili perasaan kita saat itu. Kekecewaan yang diciptakan oleh harapan yang kita tinggikan sendiri (bukan dari perkataan orang, bukan dari message orang kedua, tapi benar-bener diri sendiri) sudah cukup membuat saya uring-uringan berhari-hari. Saya jadi berandai-andai perasaan Mirko Vucinic dan Jonathan Biabiny yang sama-sama batal transfer, pindah ke Kota Milan.

Bulan Januari 2014 lalu, Mirko Vucinic sudah sangat dekat dari gerbang keluar Juventus, sudah mengosongkan loker serta mengucapkan perpisahan ke anggota tim senior Juventus. Akan tetapi, Hak Veto Erick Thohi membatalkan pertukarannya dengan Freddy Guarin, sehingga barang-barang yang sudah dimasukkan ke kotak, harus kembali lagi ke lokernya.

Di akhir bulan Agustus 2014, Jonathan Biabiny bahkan sudah diuploadkan fotonya (artinya bukan dia yang memberi harapan) oleh staff Milan ke website resmi klub tersebut, lengkap dengan jersey dan syal Milan dan senyumnya yang mengembang, selayaknya seseorang yang resmi digaet dengan berita official. Adalah seorang Zaccardo yang membatalkan saga barter transfer ini karena dia menolak untuk pindah ke Parma. Sehingga (terpaksa) memulai kembali musim ini dengan seragam klub yang sama. Saya mencoba berandai-andai apabila berada di posisi mereka dan membandingkan dengan pengalaman saya. 

Sepertinya saya tidak punya cukup mental menahan kecamuk pikiran pribadi, apabila saya, seorang Mirko Vucinic, kembali bertemu rekan-rekan tim dalam latihan di Vinovo, berlatih dengan kecamuk rasa super canggung karena menarik kembali salam perpisahan.
Sepertinya saya tidak punya ketegaran menatap photo saya, seorang Jonathan Biabiny, yang akan selamanya beredar di internet dengan senyum dan jersey serta syal Milan diphoto tersebut.

Sepertinya saya bisa menahan diri, bahwa uring-uringan di pengalaman saya toh, masih jauh lebih mudah dibandingkan mereka. Sering kali yang kita alami, seakan-akan sudah menjadi penderitaan paling berat di dunia, padahal belum tentu lebih berat dari yang orang lain alami.Hal ini akan menjadi pelajaran saya untuk di kemudian hari. Semoga.

Bagaimana dengan anda ?

Ditulis oleh : Artupoke 
"